GLOBALDETIK.COM|JAKARTA – Anggota Komite I DPD RI asal Aceh, H. Sudirman Haji Uma menyoroti persoalan anggaran yang tidak optimal sehingga berdampak terhadap kualitas proses pelaksanaan Pilkada Serentak di daerah.

Hal tersebut disampaikan Haji Uma dalam Rapat Kerja dengan Kementerian Dalam Negeri di Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta pada Selasa (10/12/2024) kemarin.

Menurut Haji Uma, terlepas perencanaan anggaran pelaksanaan Pilkada ditetapkan dan dialokasikan dalam APBD, namun hal ini belum maksimal, bahkan terbatas dari hasil pengawasan DPD RI di daerah.

Akibatnya, sejumlah kegiatan penting tidak berjalan optimal seperti sosialialisasi dan pendidikan pemilih. Bahkan, hasil temuan pengawasannya di Aceh didapati alokasi gaji untuk komisioner Panwaslih adhoc Pilkada seperti di Lhokseumawe hanya cukup untuk 9 bulan dari 12 bulan masa kerja.

“Masalah anggaran Pilkada perlu menjadi perhatian, karena terlepas alokasinya telah dianggarkan dalam APBD namun itu tidak maksimal dan berdampak terhadap proses agenda dilapangan. Bahkan gaji pelaksana alokasinya hanya cukup 9 bulan dari masa kerja 12 bulan, seperti di Lhokseumawe”, ujar Haji Uma.

Hal itu harus dievaluasi dan dilakukan upaya perbaikan, terutama perencanaan dan skema anggaran. Dirinya juga menilai daerah jangan sepenuhnya dibebankan untuk anggaran pilkada yang membuat daerah keteter dan dapat mengganggu agenda pembangunan daerah.

Dalam kesempatan tersebut, Haji Uma juga mendorong untuk dipertimbangkan dan dikaji mendalam terhadap peluang penerapan sistem Pemungutan suara secara digital bagi daerah tertentu. Karena hasil pengawasan atas sistem berjalan saat ini banyak menghadapi tantangan dan kendala dilapangan.

“Bicara pilkada menjadi penting, termasuk pemilu legislatif. Perlu pertimbangan bagi pemanfaatan teknologi untuk pemungutan secara digital yang dapat diterapkan untuk daerah tertentu yang dikombinasi dengan sistem manual seperti yang berlaku saat ini yang penerapannya dilapangan banyak menghadapi tantangan”, cetus Haji Uma.

Pada akhir penyampaiannya, Haji Uma juga secara tegas menolak wacana sistem proporsional tertutup yang mencuat dalam agenda revisi UU Pilkada. Menurutnya, itu merupakan kemunduran demokrasi bagi Indonesia karena sistem yang ada saat ini sudah baik dan demokratis.

Jika wacana tersebut dilandasi kalkulasi biaya politik yang mahal saat ini, menurut Haji Uma tidak ada jaminan juga dengan sistem proporsional tertutup pemilu atau pemilihan kepala derah lewat legis latif maka biaya politik akan lebih kecil. Bahkan, terbuka kemungkinan biaya politik malah akan lebih besar nantinya

.(AR)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *